Jeritan Akar Rumput Industri Animasi Indonesia
Jakarta - Dilihat dari goresan lewat software foto editing, hasilnya cukup lumayan untuk tayang di televisi nasional. Tangan-tangan muda yang cekatan ini tak kalah gesit dalam membuat model 3D melalui software open source 'Blender'.
Mereka bukanlah orang-orang yang sudah piawai di industri animasi. Namun tunas muda praktisi industri animasi negeri ini yang tengah belajar animasi di SMK Negeri 4 Malang.
Bertempat di Jakarta Convention Center, Selasa (6/7/2011), di ajang Pekan Produk Kreatif Indonesia 2011, detikINET berkesempatan menyaksikan langsung praktek produksi film animasi dan pameran karya SMK tersebut.
"Untuk urusan film animasi sebuah karya berdurasi sekitar lima belas menit, membutuhkan waktu pengerjaan bisa berbulan-bulan," papar Noviar Dyah Sukma S.Sn, selaku pengajar di SMK tersebut.
Wanita muda yang tampak antusias terhadap pertumbuhan industri konten animasi ini pun mengeluhkan betapa sakitnya industri animasi Tanah Air. Tak heran mengapa Indonesia banyak memiliki talenta-talenta animator, namun lebih memilih bekerja di luar negeri.
Ia memberi contoh pada kasus film Ipin-Upin yang saat belum terkenal sempat ditawarkan ke salah satu TV Swasta Nasional kala itu. Budget Rp 4 miliar sudah dihabiskan. Lagi-lagi, harga beli dari industri TV Indonesia terhitung masih sangat rendah. Akhirnya Ipin-Upin justru lebih dihargai di negeri tetangga.
"Bayangkan, hasil produksi seperti ini (menunjuk demo film animasi 'Timun Mas' karya SMKN 4-red) hanya dihargai Rp 4 Juta. Ini kan sangat tidak layak terhadap jernih payah untuk menggarap sebuah film animasi dengan kompleksitas dan lama waktu pengerjaan. Di Malaysia, produk semacam ini bisa dihargai sekitar Rp 60 Juta," keluh Noviar. Karena itu hasil-hasil karya siswa didiknya selama ini dijual kepingan dalam bentuk DVD dan merchandise.
Ketika ditanya siapa yang harus disalahkan terkait penghargaan karya animator lokal, ia tak menyebut sepenuhnya ini salah pemerintah. "Pemerintah belakangan ini sudah cukup berusaha membantu dengan acara seperti INAICTA. Yang salah industrinya yang kurang menghargai hasil kerja," imbuhnya.
Ia memberi contoh lain saat orang-orang dari industri animasi melakukan negosiasi dengan sebuah grup raksasa TV Indonesia. Lagi-lagi, hitung-hitungan pembelian konten merugikan jernih payah produksi animasi dengan harga yang tak sebanding. Proyek animasi tak bisa disamakan dengan sinetron tentunya.
Potensi animator Indonesia sejatinya cukup mumpuni. Namun jika tak ada koordinasi bersama dengan semua pihak terkait, lantas siapa yang mau disalahkan jika industri animasi berjalan lambat?
Sumber detik com
0 komentar:
Post a Comment