Jakarta - Sejak kehadiran teknologi nirkabel (
wireless) dasawarsa silam, perangkat telekomunikasi dengan saluran kabel (
wireline) perlahan mulai ditinggalkan dan terbilang stagnan pertumbuhannya. Tak cuma di
Indonesia, tapi juga di seluruh dunia.
Namun bedanya, di negara lain, teknologi kabel masih memberikan manfaat lebih karena cukup bisa diandalkan koneksinya. Berbeda dengan
Indonesia, hampir semua operator telekomunikasi yang ada lebih memilih untuk berinvestasi penuh pada nirkabel karena dianggap lebih murah dan efisien.
Dari sisi hitung-hitungan bisnis, wajar saja jika operator beralih mengembangkan
wireless. Untuk satu sambungan telepon, misalnya, dahulu menggunakan kabel sedikitnya bisa menghabiskan US$ 500. Sementara dengan
wireless, angkanya jauh-jauh lebih murah, cuma sekitar US$ 7 per sambungan.
Tak pelak, telepon rumah berbasis kabel mulai ditinggalkan sejak operator telekomunikasi seperti Telkomsel, Indosat, dan XL Axiata (dulu Excelcomindo Pratama) mulai gencar membangun akses jaringan seluler sejak 1995-1996. Tren ini ikut didukung ponsel yang telah menjadi bagian gaya hidup masyarakat.
Telkom dan Indosat yang semula mengandalkan lisensi telepon tetap berbasis kabel, lama-lama kewalahan juga terseret arus tren ini. Di satu sisi harus memenuhi kewajiban lisensinya, sementara di sisi lain mulai kepayahan dalam hal investasi karena pendapatan telepon kabel terus tergerus seluler.
Keduanya pun akhirnya mendorong pemerintah mengeluarkan lisensi
fixed wireless access (FWA) agar tetap bisa bertahan di bisnis telepon tetap (fixed). Sejak itu pula, perlahan tapi pasti, pembangunan saluran kabel mulai ditinggalkan. Telkom lebih memilih mengembangkan Flexi, sementara Indosat dengan StarOne-nya.
Alhasil, pelanggan telepon kabel pun stagnan. Pelanggan Telkom sejak hampir sepuluh tahun yang lalu tak pernah beranjak dari 8,7 juta. Sedangkan Indosat tak sampai 100 ribu. Di sisi lain, Flexi malah melonjak pesat dengan 18 juta. Sementara StarOne masih 700-an ribu.
Meskipun sudah tak menguntungkan lagi, telepon dengan saluran kabel tetap dipertahankan karena ini bisnis legacy -- warisan. Namun alangkah sayangnya jika investasi yang sudah keluar miliaran dollar AS ini, bahkan triliunan, menjadi sia-sia tanpa pengembangan berarti.
Teknologi
wireless meski bisa diandalkan dalam meraup pelanggan dalam jumlah besar, tak sepenuhnya bisa memenuhi ekspektasi pelanggan, khususnya untuk layanan data pita lebar. Sejak menurunnya layanan konvensional seperti panggilan suara (voice) dan pesan singkat (SMS), layanan data malah meningkat pesat.
Kebutuhan akan akses data cepat dan stabil, memang cuma bisa didapat melalui pipa koneksi yang stabil dan
dedicated. Dan itu belum bisa dipenuhi maksimal oleh koneksi
wireless yang tersedia saat ini, meskipun sudah memasuki era 3G--dan 4G tak lama lagi.
Masa Depan BroadbandItu sebabnya pula, di negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika, koneksi kabel masih tetap dipertahankan meski ketersediaan akses broadband lewat nirkabel juga tersedia luas.
"Masa depan broadband itu sejatinya ada di teknologi kabel, bukan nirkabel," demikian pendapat Ketua Masyarakat Telematika
Indonesia (Mastel) Setyanto P Santosa saat berbincang-bincang dengan
detikINET, beberapa waktu lalu.
Melalui roadmap pembangunan jaringan di
Indonesia, ia pun mendesak pemerintah dan operator agar memberikan porsi lebih terhadap pembangunan infrastruktur broadband berbasis
wireline.
Imbauan ini direspon oleh Telkom selaku BUMN telekomunikasi di negeri ini. Maka dimulailah proyek pembangunan jaringan kabel yang mereka namakan Telkom Nusantara Super Highway.
Program yang menelan investasi Rp 150 triliun itu merupakan pembangunan jaringan infrastruktur teknologi komunikasi informasi (ICT) nasional berbasis optical network platform dengan kombinasi pembangunan jaringan serat optik baru sepanjang 47.099 kilometer. Di sisi lain, proyek ini juga ikut memperkuat jaringan tembaga (copperwire) lamanya.
“Proyek ini adalah wujud pembangunan infrastruktur broadband nasional agar masyarakat bisa menggunakan akses data kecepatan tinggi ini untuk hal yang bisa meningkatkan perekonomian dengan harga terjangkau,” jelas Direktur Network and Solutions Telkom, Ermady Dahlan.
Menurutnya, pembangunan infrastruktur broadband harus diakselerasi karena berdasarkan riset yang dipaparkan Telkom, setiap peningkatan 1% penetrasi broadband, tenaga kerja yang terpakai naik 0,2% hingga 0,3%. Sedangkan setiap investasi sebesar US$ 1 untuk broadband, maka masyarakat akan mendapatkan keuntungan 10 kali lipatnya.
”Dari hasil kajian di 120 negara selama 1980-2006 telah terbukti setiap kenaikan 10% dari penetrasi broadband akan meningkatkan Gross Domestic Product (GDP) 1,21% di negara maju dan 1,38% untuk negara berkembang. Saya sendiri memperkirakan setiap pertumbuhan 10% dari broadband di
Indonesia memberikan dampak tidak langsung mencapai Rp 500 triliun,” jelas Ermadi.
Dari infrastruktur jaringan backbone dalam proyek Telkom Nusantara Super Highway itu, akses data dan internet nantinya akan disalurkan ke rumah-rumah melalui teknologi Fiber to the Home (FTTH). Proyek yang ditargetkan rampung tahun 2015 nanti, untuk tahap awal akan menyasar sambungan ke 60 ribu household (rumah tangga).
"Saat ini, dalam proyek Telkom Nusantara Super Highway yang 25% di antaranya ikut kami kerjakan, akses jaringan wireline yang tersedia sudah mencapai 10 ribu sambungan sejak dibangun mulai November tahun lalu," ungkap Managing Director ZTE
Indonesia, Nolan A Fan.
Dengan teknologi FTTH itu, Telkom nantinya bisa menyelenggarakan akses data pita lebar berbasis kabel optik di rumah-rumah dengan berbagai turunannya, seperti penguatan akses internet broadband Speedy, dan siaran melalui akses internet atau IPTV (internet protocol television) dalam waktu dekat.
Telkom sendiri meski belum merampungkan proyek pembangunan FTTH-nya secara keseluruhan, sudah berani mengkampanyekan keandalan Speedy sebagai layanan internet cepat real unlimited.
"Telkom betul-betul menyediakan layanan internet tanpa batas, yakni tanpa batas waktu maupun kuota," tegas Operation Vice President Public Relation Telkom, Agina Siti Fatimah.
Menurutnya, dengan kualitas jaringan dan akses internet yang bagus akan membuat pelanggan lebih loyal untuk menggunakan Speedy. Saat ini, Telkom telah melayani 1,7 juta pelanggan Speedy dan menargetkan jumlahnya akan meningkat menjadi 2,5 juta hingga 2,7 juta di akhir 2011 nanti seiring dengan peningkatan kapasitas jaringan.
"Tidak hanya dari sisi kecepatan akses yang ditingkatkan, tetapi juga bandwidth. Misalnya, pelanggan Speedy dengan kecepatan akses 1 Mbps, infrastrukturnya harus lebih bagus dari sekarang sehingga akses internetnya bisa lebih nyaman," tandas Agina.
( rou / fyk )