Jakarta - "Beri aku seribu orang, dan dengan mereka aku akan menggerakan Gunung Semeru! Tapi berilah aku sepuluh pemuda bersemangat, maka aku akan mengguncang dunia," (Pidato Ir. Soekarno dalam Kongres Pemuda Indonesia 1932 di Surabaya)
BlankOn adalah sistem operasi (operating system) komputer berbasis Linux yang dikembangkan oleh Yayasan Penggerak Linux Indonesia (YPLI) dan tim pengembang BlankOn. Seperti tertulis di situs www.blankonlinux.or.id, fitur BlankOn mampu menghadirkan varian Linux yang sesuai kebutuhan pengguna komputer umumnya di Indonesia, terutama dunia pendidikan, perkantoran dan pemerintahan.
Dari distro Linux nasional inilah, penulis mulai belajar mengakrabi dunia FOSS sejak 2008 sampai sekarang. Lontara adalah kode rilis BlankOn yang pertama penulis coba. Sebagaimana jamaknya turunan distro Debian berbasis GNOME, BlankOn relatif mudah digunakan. Selain nilai plus bebas virus, pengguna juga bisa tahu dan belajar bahasa kode –secara sederhana melalui perintah di terminal -- yang selama ini belum diketahui.
Bagi pemula di dunia komputer, BlankOn menawarkan tahapan pembelajaran komputasi dari nihil hingga level terampil. Sebagaimana akronim-nya yang terdiri dari dua kata 'Blank' dan 'On'. 'Blank' berarti 'nihil, kosong, nubie, rookie, awam, belum paham' dan 'On' yang bermakna 'nyala, mulai belajar, berproses, terampil dan berkelanjutan'. Jika disatukan dalam BlankOn, akan lahir filosofi open source yang 'selalu ikhlas terbuka menerima-memberi pengetahuan antara sesama manusia dan dan praktik pembelajaran sepanjang usia kehidupan'.
BlankOn bila diucapkan, bunyinya akan menyerupai blangkon, satu jenis topi tradisional khas Indonesia. Mungkin dengan makna itulah, BlankOn diidealkan sebagai sistem operasi khas Indonesia. Sebagaimana kepala yang menjadi tempat otak dan pusat kendali sistem operasi manusia, ia perlu diamankan blangkon. Maka semua CPU -- pusat otak kendali komputer -- di Indonesia pun layak dipasangi BlankOn.
BlankOn bisa jadi ikon Indonesia di ranah TI jika saja seluruh masyarakat peduli dan mau berjuang serius ke arah itu. Optimisme ini merujuk kekuatan komunitas yang terbukti lebih bergerak gegas dan cerdas meski tanpa dukungan memadai.
Teman penulis seorang pamong desa di Lamongan, nekat mengganti semua unit komputer kantor desa yang sebelumnya bersistem operasi bajakan dengan BlankOn. Tanpa menyalahkan lambannya pemerintah merespon isu IGOS, ia dengan telaten mengajari rekan-rekan pamong di kantor desanya cara penggunaan BlankOn hingga mahir.
Pengalaman serupa pernah penulis alami saat BlankOn.in 25-an laptop guru di Sikakap Mentawai 2010 lalu. Sambil mendampingi anak-anak terapi psikososial, sekaligus mengenalkan BlankOn kepada para guru di sekolah. Dengan Bismillah dan improvisasi pendekatan, upaya itu menuai hasil membersyukurkan. Setelah penulis dampingi selama 2 hari, para guru akhirnya mau mengganti sistem operasi bajakan di laptopnya dengan BlankOn yang asli rakitan anak-anak pertiwi.
Kisah pamong desa dan penulis yang berusia 30-an tahun itu menyerupai semangat para pengembang BlankOn. Mereka rata-rata berusia muda namun kenyang dengan keterampilan hacktivist yang idealis akan semangat Indonesianis. Di beberapa kesempatan menyaksikan ritme kerja mereka yang total 'beramal sosial', penulis teringat sejarah para pendiri republik ini, utamanya Presiden Soekarno dan Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Soekarno dibesarkan sejarah dengan cita-cita merdekanya. Di awal gerakannya, mungkin ia dicibir dunia dan rekan-rekan sesama aktifis. Karena betapa mustahilnya perjuangan membuat negara yang sebelumnya tidak ada -- de jure maupun de facto -- menyatukan ribuan pulau, suku bahasa, dan di tengah kuatnya cengkeraman penjajah Belanda. Tapi Alhamdulillah, berkat rahmat Allah, ikhtiar kecil itu berhasil. Indonesia menyatakan kemerdekaannya melalui pengorbanan para pahlawan dan peran politik Soekarno.
Soedirman terkenal sifatnya yang sahaja dan tegas tanpa kompromi melawan penjajah kompeni. Perjuangan heroiknya dimulai saat beliau sukses mengusir tentara sekutu NICA di palagan Ambarawa. Paling fenomenal dan mengharukan ketika peristiwa Agresi militer II Belanda di Jogjakarta.
Beliau memutuskan perang gerilya naik gunung turun rimba dalam kondisi sakit hebat setelah satu ginjalnya diangkat. Beliau memilih sengsara bersama anak buahnya daripada ditawan jadi tahanan politik pemerintahan kolonial. Atas bantuan Allah, cerita ini pun berakhir apik dengan kembalinya ibukota Jogja ke republik.
Soekarno dan Soedirman mengukir sejarah ketika usianya masih relatif muda. Soekarno diangkat jadi Presiden RI saat berumur 40an. Soedirman berumur 29 tahun ketika meraih pangkat Jenderal -- puncak karir tertinggi dalam kemiliteran -- dan dilantik jadi Panglima TKR atau cikal bakal TNI saat ini.
Beliau berdua mengupayakan pencerdasan bangsanya dengan ikhtiar merdeka dari keterjajahan. Keduanya ikhlas dan tegas melawan penjajahan, sikapnya sahaja penuh kesederhanaan, semangat bergerilya tanpa kenal putus asa hingga akhir usianya. Soekarno dan Soedirman dikenal sebagai pemimpin politik dan panglima militer yang kiprah strategisnya layak diteladani dunia.
Pengembang dan pengguna BlankOn dapat menapaktilasi perjuangan dua pemuda revolusioner Soekarno dan Soedirman. Kedua pahlawan kemerdekaan Indonesia itu pernah terkenal dengan tampil blangkonan. Silakan googling foto muda Soekarno dan pose keren Soedirman, nampak kupluk blangkon tradisional itu tersemat gagah sahaja di dua kepala pemimpin Indonesia.
Ya, blangkon dan BlankOn bunyinya mirip bila diucapkan. Kian relevan menyandingkan Soekarno dan Soedirman dengan pengembang dan pengguna BlankOn yang sama bersemangat muda. Keduanya berupaya sekuatnya agar bangsa ini berdikari. Pengembang dan pengguna BlankOn yang penulis sebut 'BlankOnan' sedang bekerja keras agar kita bangga punya sistem operasi sendiri. Mereka ingin BlankOn.in masyarakat komputer Indonesia supaya merdeka dari monopoli kumpeni proprietary.
Soekarno, Soedirman, BlankOnan. Beda generasi tapi sama sevisi-misi. Sebuah nostalgia revolusi pertiwi yang sepatutnya disyukuri, didukung dan disemangati. Sekaligus ini penambah motivasi sebagian BlankOnan yang nyaris berpeluh di titik jenuh karena sepinya dukungan masyarakat dan media.
Simak lanjutan tulisan ini di bagian kedua...
*) Penulis, Gus Adhim merupakan seorang santri peminat fotografi, pegiat F/OSS dan teknologi informasi. Saat ini, penulis tinggal dan bekerja di Pondok Pesantren Sumber Pendidikan Mental Agama Allah (SPMAA) Lamongan.
( ash / ash )
0 komentar:
Post a Comment