Friday, October 7, 2011

Merayakan Bermain: Saatnya Kembali Bermain

Merayakan Bermain: Saatnya Kembali Bermain

Jakarta - Artikel ini adalah bagian kedua dari rangkaian seri artikel: Merayakan Bermain. Artikel sebelumnya membahas potensi besar dari industri game dan bisa dibaca pada tautan berikut.


Pada artikel kali ini kita akan membahas aspek positif dari aktivitas bermain yang kita definisikan sebagai sebuah aktivitas yang dilakukan secara sukarela (tanpa paksaan), memiliki suatu objektif tertentu, didukung oleh suatu peraturan yang telah ditentukan dan diketahui sebelumnya, serta memiliki indikator pendukung.

Bagian 2: Saatnya Kembali Bermain

Pada tahun 1938 Johan Huizinga , seorang professor sejarah dan rektor Universitas Leyden Belanda memperkenalkan sebuah konsep homo ludens, yaitu sebuah konsep yang menekankan peran manusia sebagai mahluk bermain.

Konsep tersebut kemudian ia tuangkan dalam sebuah buku dengan judul yang sama “Homo Ludens”, yang kemudian menjadi salah satu referensi utama dalam memahami peran penting aktivitas bermain dalam kebudayaan manusia.

Sejak awal kehidupannya bermain menjadi sebuah aktivitas yang begitu lekat dengan kehidupan manusia. Setiap anak belajar berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya melalui bermain.

Melalui bermain pula setiap anak kemudian belajar untuk berkreasi, berimajinasi, mengeksplorasi berbagai hal, dan membentuk kepercayaan dirinya. Dengan kata lain bermain adalah sebuah proses belajar, sebuah aktivitas yang begitu penting hingga komite hak asasi manusia PBB mengakuinya sebagai hak setiap anak.

Namun sebagaimana mungkin kita sadari, tidak semua anak mampu sepenuhnya menikmati hak bermain mereka.


Ada banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut dan salah satunya adalah keenganan sebagian dari kita untuk menghadirkan aktivitas bermain di tengah keluarga.

Terbatasnya informasi mengenai aspek positif dari bermain, berbagai pandangan negative mengenai berbagai media permainan (games) yang ada, serta rushing life style, semakin membuat kita lupa esensi bermain yang sesungguhnya.

Begitu sulitnya kita untuk menerima bermain sebagai sebuah proses belajar, sebuah proses yang seharusnya bisa kita hadirkan dikeseharian kita, hingga banyak media permainan harus membubuhkan kata edukatif, kreatif, inovatif, serta berbagai kata positif lain untuk mampu menarik perhatian kita.

Apakah begitu sulit untuk bisa melihat berbagai aspek positif yang hadir dalam bermain?


Bermain memberikan kesempatan bagi anak-anak (juga kita) untuk mencoba berbagai hal baru dan meminimalisir rasa takut untuk berbuat salah. Sir Ken Robinson, seorang penulis serta pakar pendidikan ternama menyampaikan bahwa kedua hal tersebut adalah komponen utama untuk memacu kreativitas dan seharusnya menjadi landasan dasar dari sistem pendidikan kita (School Kill Creativity).

Sejalan dengan Sir Ken Robinson, Tim Brown, CEO Ideo (penulis best seller “Design Thinking”) memaparkan bagaimana bermain sesungguhnya memiliki potensi besar dalam mendukung proses berpikir kreatif dan adalah penting bagi setiap orang (dewasa) untuk kembali belajar bermain (Serious Play).

Pamela Meyer, penulis best seller “From Workplace to Playspace” menghadirkan berbagai fakta menarik bagaimana peningkatan kinerja bisa segera tercipta dengan adanya kesempatan untuk bermain (playspace).

Lewat sebuah karyanya yang fenomenal “Reality is Broken” Jane McGonigal membahas berbagai potensi luar biasa dari aktivitas bermain. Ia berargumentasi bahwa jika kita bisa menghadirkan kegembiraan, antusiasme, serta kreativitas yang sama di keseharian kita sebagaimana ketika kita bermain, maka kita akan mampu mnyelesaikan berbagai hal luar biasa.

Berbagai aspek positif bermain yang sesungguhnya ada kadang terhalang oleh berbagai persepsi negatif tentang bermain yang telah berkembang secara luas, dan kadang hal ini yang membuat kita sulit untuk benar-benar bisa melihat bermain sebagai sebuah proses belajar.


Segala hal yang berlebihan tentu akan berdampak kurang baik, ini berlaku untuk segala hal – termasuk untuk bermain. Namun karena karakteristik dasar dari bermain adalah menghasilkan rasa gembira, kita menjadi lebih mudah terlena ketika bermain dibanding ketika kita melakukan aktivitas lainnya.

Hal tersebut adalah sebuah fakta sederhana yang mesti kita terima, sehingga kita bisa segera menyadari solusi sederhana yang menyertainya. Segala efek negatif yang mungkin timbul dari aktivitas bermain sesungguhnya bukanlah akibat dari berbagai media yang menyertainya (games) atau industri yang ada dibelakangnya, tetapi mungkin akibat tingkat kedisiplinan diri kita.

Disiplin perlu kita hadirkan dalam bermain, baik untuk diri kita sendiri maupun keluarga (lingkungan) kita, di antaranya: disiplin dalam menentukan jenis media permainan, disiplin dalam menentukan porsi waktu, disiplin dalam menentukan lawan bermain, juga disiplin dalam menghadirkan diri kita sepenuhnya ketika bermain.

Jika kita mampu menghadirkan itu semua, maka bermain akan benar-benar hadir sebagai sebuah proses belajar yang menyenangkan yang kemudian bisa dinikmati oleh semua.




Eko Nugroho Tentang Penulis: 
Eko Nugroho adalah CEO & Co-Founder Kummara Creative Studio, Chief Organizer Indonesia Bermain. Bisa dihubungi lewat twitter @enugroho


( wsh / wsh )

Sumber detik com

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

Post a Comment