Jakarta - Manusia adalah tempatnya salah dan lupa, begitu bunyi pepatah kuno yang terkenal. Pepatah yang seringkali dijadikan alasan ketika seseorang lupa atau khilaf sebagai pembenaran atas apa yang dilakukannya.
Suasana Hari Pendidikan Nasional 2011 pada 2 Mei lalu yang seharusnya dinikmati dengan keceriaan dan kegembiraan oleh semua masyarakat tiba-tiba menjadi suram bagian sebagian orang.
Pasalnya, di Hardiknas 2011 ini, pemerintah yang dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) menandatangani perjanjian kerjasama dengan salah satu vendor proprietary, Microsoft Indonesia.
Tujuan Mulia?
Tujuan dari perjanjian ini cukup mulia dan sederhana namun kompleks: memperkuat pengetahuan teknologi informasi di dunia pendidikan, serta meningkatkan inovasi dan kreativitas.
Tujuan di atas memang mulia karena efeknya adalah untuk kebaikan bersama, untuk kebaikan masyarakat terutama di dunia pendidikan. Pun tidak ada yang salah dengan perjanjian public-private partnership dalam hal perangkat lunak legal.
Namun akan menjadi aneh jika pihak public dalam perjanjian dengan Microsoft ini adalah Kemendiknas karena sebagaimana diketahui bersama Kemendiknas adalah satu dari lima kementerian yang menandatangani deklarasi semangat gerakan untuk meningkatkan penggunaan dan pengembangan open source di Indonesia (IGOS).
Kemendiknas sebagai salah satu inisiator deklarasi gerakan IGOS seharusnya ingat bahwa semangat utama gerakan ini adalah meningkatkan penggunaan dan pengembangan open source di Indonesia.
Hal ini bertolak belakang dengan perjanjian yang dilakukan bersama Microsoft Indonesia karena tidak mendukung apa yang diikhtiarkan dalam semangat IGOS.
Kepemimpinan Indonesia di ASEAN
Microsoft DreamSpark dan Microsoft Live@Edu memang produk legal karena dapat digunakan secara cuma-cuma oleh kalangan dunia pendidikan (syarat dan ketentuan berlaku).
Sayangnya, kedua produk ini bukan produk open source dan penggunaan keduanya secara tidak langsung akan menghambat proses implementasi dan pengembangan open source yang sedang dijalankan pemerintah dalam program IGOS.
Perlu diketahui, saat ini program IGOS telah berhasil membantu proses migrasi banyak pemerintah daerah baik migrasi sistem operasi ke Linux maupun migrasi aplikasi perkantoran ke OpenOffice.org.
Hebatnya lagi IGOS tidak hanya bergema di dalam negeri karena ternyata telah berhasil membuat negara-negara ASEAN kagum pada implementasi open source di Indonesia.
Dari prestasi inilah akhirnya Indonesia ditunjuk menjadi ketua riset dan pengembangan teknologi informasi dan komunikasi melalui program open source software (OSS) untuk ASEAN.
Malu?
Seharusnya Kemendiknas merasa malu karena dengan perjanjian kerjasama ini karena secara tidak langsung telah menghambat implementasi, penggunaan serta pengembangan open source di Indonesia.
Malu kepada dirinya sendiri dan kementerian lain karena telah 'menodai' semangat IGOS. Malu kepada masyarakat karena menunjukkan sikap tidak konsisten.
Apalah artinya tujuan mulia Kemendiknas untuk ‘memperkuat pengetahuan teknologi informasi di dunia pendidikan, serta meningkatkan inovasi dan kreativitas’ jika dilakukan dengan cara yang tidak mulia?
Ah, mari berbaik sangka saja, mungkin Kemendiknas dan Pak Nuh (Mendiknas, M. Nuh-red) sedang lupa. Dan mari berdoa agar keduanya segera sadar dan ingat.
Tentang Penulis: Ahmad Saiful Muhajir adalah penggiat dan pemerhati Free Libre Open Source Software (FLOSS) yang sebelumnya aktif di Jawa Tengah Open Source Center. Ia dapat dihubungi di http://saifulmuhajir.me atau melalui Twitter di akun @saifulmuhajir. |
( wsh / wsh )
0 komentar:
Post a Comment