Quo Vadis Steve Jobs: The Creator of Values
Jakarta - Artikel ini ditulis dengan rasa berduka, karena Jobs adalah salah satu idola saya. Majalah Time merilis edisi obituari Steve Jobs, hanya kurang dari 24 jam setelah Apple.com mengumumkan berita duka cita kematian beliau.
Walter Isaacson, penulis authorized biography dari Jobs, menulis feature article untuk menghormatinya. Direncanakan, authorized biography Jobs akan terbit pada tanggal 24 Oktober ini.
Namun, segera setelah Jobs meninggal, banyak suara ‘sumbang’ yang mengkritisi sepak terjangnya. Adil dan proporsional kah kritik-kritik tersebut? Mari kita simak di kajian kritis ini!
Jobs adalah ‘The Creator of Values’
Menurut Nietzche, manusia yang paling hebat adalah dia yang menjadi ‘The Creator of Values’. Apakah ini?
Para ‘Creator’ adalah dia yang berhasil mendefinisikan nilai-nilai moral, di mana para pengikutnya akan mengadopsi nilai-nilai tersebut.
Seorang ‘Creator’ adalah independen, dalam arti dia tidak ‘disetir’ oleh ‘values’ dari orang lain, walaupun sangat mungkin dipengaruhi olehnya. Seorang ‘Creator’ tidaklah harus menciptakan sesuatu dari ketiadaan, namun dapat juga mengolah sesuatu dari yang telah ada.
Steve Jobs adalah ‘The Creator of Values’, yang merupakan dimensi kemanusiaan tertinggi menurut Nietzche. Jobs berbeda dengan seorang Napoleon Bonaparte, karena dia tidak peduli dengan kekuasaan. Jobs juga tidak pernah tertarik menjadi seorang ‘Pahlawan’ seperti Hercules, Jendral Rommel, atau Jendral Patton, karena dia selalu tampil apa adanya.
Dia hanya sibuk mengerjakan apa yang dia sukai, yaitu mengembangkan dunia IT yang sangat ia cintai. Jobs adalah ‘Creator of values’ yang sesungguhnya.
Produk Apple seperti Macintosh, ipod, iphone, dan ipad, telah menjadi ‘trend setter’ yang diikuti oleh dunia IT secara khusus, dan retail secara umum.
Kontroversi Steve Jobs
Beberapa media barat menyamakan Steve Jobs dengan Henry Ford. Padahal, penyetaraan itu menyiratkan suatu kontroversi. Steve Jobs dikritik pedas dengan kasus FoxConn, di mana pekerjanya underpaid dan kerja dalam kondisi yang buruk, sementara Henry Ford jauh lebih ekstrim lagi. Henry Ford adalah tokoh kontroversial, karena dia diduga berkolaborasi dengan Nazi Jerman.
Jobs dituduh juga sebagai ‘pelit’, karena berbeda dengan Bill Gates dan Warren Buffet yang philantropis, Jobs tidak pernah dikenal sebagai dermawan. Tuduhan itu tidak adil, karena Jobs sendiri tidak pernah diklarifikasi secara langsung.
Jika kita asumsikan Jobs mengetahui kasus FoxConn, media sama sekali tidak pernah mengangkat tindakan apa yang dilakukan Jobs untuk memperbaiki keadaan. Boleh jadi Jobs sudah melakukan tindakan perbaikan, namun tidak pernah dipublikasi.
Kasus absennya Jobs dari daftar para philantropis pun juga sama sekali bukan justifikasi bahwa dia ‘pelit’. Sudah jamak dalam dunia philantropis, bahwa sumbangan bisa diberikan secara anonim. Hal ini bisa saja dilakukan oleh Jobs, walaupun kita tidak akan pernah tahu.
Di tanah air, salah satu contoh yang jamak adalah nama anonim ‘Hamba Allah’ , pada daftar penyumbang di Masjid atau tempat lainnya.
Salah satu hal menarik yang tidak pernah diangkat media, adalah komitmen Jobs untuk memperbaiki regulasi transplantasi organ di California. Jobs, yang menerima transplantasi liver dari negara bagian lain, sangat menyadari dan bersyukur bahwa kekayaan dia memudahkannya untuk mencari transplantasi liver ke negara bagian lain.
Privelese ini tidak dimiliki oleh sebagian besar warga California, yang memang tidak mampu. Oleh karena itu, Jobs membujuk Gubernur California saat itu, Arnold Schwarzenegger, untuk menggolkan undang-undang yang mempermudah pemohon transplantasi untuk memperoleh prioritas.
Ketidakadilan yang banyak dirasakan oleh aktivis Open Source, adalah luputnya kematian Dennis Ritchie, pencipta bahasa C dan Co-devoloper Unix, yang sangat minim disorot media. Hal ini karena Jobs dan Ritchie meninggal pada saat yang bersamaan.
Di dunia akademik, tidak ada satu orangpun yang berani mendebat pengaruh Ritchie, karena banyak aplikasi scientific yang dikembangkan menggunakan Bahasa C ataupun turunannya seperti C++ dan Java, dan juga kuatnya pengaruh UNIX/UNIX-like(Linux) pada para akademisi/ilmuwan. Namun di dunia retail/komersial sangat jarang yang mengetahui siapakah Dennis Ritchie.
Kasus ini juga terjadi dengan beberapa peraih Nobel, contohnya John Nash, yang meraih Nobel Ekonomi dan kisah hidupnya sudah difilmkan. Dibandingkan Direktur Bank of America atau Direktur Deutsche Bank, jelas tidak banyak yang mengenal seorang Nash di dunia perbankan/finance. John Nash masihlah seorang Guru Besar biasa, yang mengajar di perguruan tinggi sampai sekarang ini dan tidak pernah menjadi selebritis.
Kembali lagi, mengapa seorang Jobs bisa jauh lebih populer daripada Ritchie, hal itu tidak lepas dari kegagalan popularisasi sains di negara barat. Popularisasi Sains bukanlah masalah negeri kita saja, namun juga terjadi di negara barat.
Jobs sepertinya menyadari betul, bahwa popularisasi adalah sesuatu yang esensial. Oleh karena itu, hampir apapun yang diproduksi Apple menjadi hit, karena dibungkus oleh usaha popularisasi ke publik.
Sayangnya memang, prakarsa popularisasi ini hanya menjadi milik korporasi tertentu, dalam hal ini Apple, dan hampir absen di dunia akademik/penelitian. Itupun, tidak semua korporasi IT yang mampu mengintegrasikan produknya dengan budaya pop sebaik Apple.
Memang dalam hal ini, peran media sangat diharapkan untuk lebih mempopulerkan sains kepada publik, agar Dennis Ritchie ataupun ‘suhu-suhu’ IT lain juga mendapatkan penghormatan yang sepantasnya.
Steve Wozniak, co-founder Apple selain Steve Jobs, juga sering luput dari liputan media. Padahal, peran Wozniak dalam mendirikan Apple tidak kalah pentingnya dengan Jobs sendiri.
Steve Jobs dan Penilaian Moral
Sangat tidak adil, jika menilai pengaruh seorang tokoh hanyalah berdasarkan pertimbangan moral yang kaku, yang bisa jadi ‘tidak bebas nilai’.
Steve Jobs adalah seorang manusia biasa, yang sudah pasti memiliki banyak kekurangan. Tidak ada seorangpun yang sempurna di dunia ini, termasuk Steve Jobs.
Namun, sebagai penghormatan anumerta, ada baiknya kita lebih mengutamakan apa saja sumbangan positif dia pada dunia yang fana ini. Berprasangka baik dalam konteks ini akan memberikan keadilan bagi Steve Jobs, terutama bagi keluarga besar Apple yang dia tinggalkan.
Saya setuju dengan beberapa media barat, bahwa terlepas dari moral judgement yang disuarakan beberapa kalangan, Steve Jobs sangat pantas untuk disandingkan dengan entrepreneur besar seperti Henry Ford dan Thomas Alfa Edison.
Dalam semangat Nietzchean, mereka adalah ‘The Creator of Values’ sejati. Adieu Steve...
Tentang Penulis: Arli Aditya Parikesit,M.Si adalah Kandidat Doktor bidang Bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman; Peneliti di Departemen Kimia UI; Vice Editor-in-chief Netsains.com; dan Koordinator Media/ Publikasi NU Jerman. Ia bisa dihubungi melalui akun @arli_ap di twitter, dan www.goplus.to/arli di google+. |
( wsh / wsh )
Sumber detik com
0 komentar:
Post a Comment