Frekuensi Carut Marut, Indonesia Perlu Badan Spektrum?
Jakarta - Pemerintah Indonesia dinilai perlu segera membentuk Badan Spektrum Nasional. Alasannya karena Kementerian Komunikasi dan Informatika dianggap kurang kapabel dalam menata alokasi sumber daya frekuensi.
Demikian dilontarkan Asmiati Rasyid, pendiri Center for Indonesia Telecommunications Regulation Study (CITRUS) dalam sebuah seminar frekuensi, di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Kamis (4/8/2011).
"Frekuensi itu sumber daya alam yang sangat berharga, seperti minyak. Meskipun ketersediaannya tidak banyak, namun sifatnya jangka panjang dan bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat," jelasnya.
Ia mencontohkan, di Indonesia spektrum frekuensi telekomunikasi selebar 350 Mhz sudah habis dipakai untuk Wimax pada 200 Mhz dan Satelit Indostar II sebanyak 150 Mhz. Padahal penggunanya baru mencapai 200 juta saja.
"Bandingkan dengan India, yang sampai saat ini jumlah pengguna telekomunikasi sudah mencapai 600 juta dan baru melepas spektrum hanya 400 Mhz saja. Sedangkan di Indonesia, jumlah spektrum frekuensi yang dilepas sudah mencapai 900 Mhz dengan pengguna 200 juta," papar Asmiati.
Itu sebabnya, kata Asmiati, pengelolaan spektrum seharusnya bukan di bawah Kementerian Kominfo dan harus diposisikan lebih tinggi. "Badan Spektrum Nasional ini harus langsung di bawah presiden. Sebab ini menyangkut kepentingan banyak pihak," ujarnya.
"Kita jangan mau hanya dipermainkan oleh kepentingan yang dibalik kedok liberalisasi. Kita harus lihat, Indonesia itu kaya dengan pasar yang sangat besar bagi perusahaan asing. Maka saya sarankan agar pembagian spektrum frekuensi ini agar ditata ulang," tandasnya.
Ia pun menegaskan, Badan Spektrum Nasional yang dimaksud harus memiliki kewenangan yang kuat terutama untuk melakukan refarming band spektrum yang dikuasai oleh industri broadcasting, maupun band-band spektrum lainnya yang dimiliki Kementerian Pertahanan dan Kepolisian Negara.
Sumber detik com
0 komentar:
Post a Comment